Jumat, 13 Oktober 2017

kejanggalan pelaporan keuangan PT KAI



Komisaris PT KAI (Kereta Api Indonesia) mengungkapkan bahwa ada manipulasi laporan keuangan dalam PT KAI yang seharusnya perusahaan mengalami kerugian tetapi dilaporkan mendapatkan keuntungan. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi. Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT. KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT. KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT. KAI tahun 2005.
Adapun kejanggalan disebabkan karena perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat mengenai:
  1. Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
  2. Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
  3. Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
  4. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
  5. Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
KESIMPULAN
Berdasarkan kasus yang terjadi didalam PT KAI ini dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan yang dimiliki PT KAI pada tahun 2005 telah dimanipulasi oleh pihak – pihak tertentu. Didalam laporan keuangan terdapat kejanggalan dan ada beberapa data yang disajikan tidak akurat (tidak sesuai dengan akuntansi keuangan). Manajemen PT KAI telah mengakui bahwa adanya kerugian secara bertahap selama lima tahun kedepan. Di tahun 2003 kewajiban yang disajikan oleh PT KAI yaitu untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP), pajak penambahan nilai (PPN), dan disajikan juga dalam bentuk laporan keuangan sebagai piutang (tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak), pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Namun laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik (auditor) di tahun 2005 melaporkan bahwa data yang telah diaudit sudah benar dan tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Akan tetapi komisaris PT KAI meneliti dan mempelajari laporan keuangan yang telah diaudit tersebut namun di dalam laporan tersebut terdapat kejanggalan dan laporan tersebut di tolak oleh komisaris PT KAI. 
SOLUSI
            Kasus tersebut berawal dari pembukan yang tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang telah ditetapkan. selayaknya pihak audit memahami dan menguasai prinsip akuntansi sebagai salah satu penerapan etika profesi akuntansi, akibatnya terdapat kejanggalan dalam laporan keuangan yang telah diaudit dan terjadi masalah masalah yang menyebabkan kecurangan.

Referensi :
http://hendraendra.blogspot.co.id/2012/10/contoh-kasus-pelanggaran-etika-dalam.html